SENGKETA PERIKANAN ANTARA INGGRIS DENGAN NORWEGIA : PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
Oleh : Said Syahrul Rahmad Ali
Sejarah
telah mencatat kejadian yang penting yaitu perkara antara Inggris
dengan Norwegia. Kejadian ini mempunyai pengaruh besar atas perkembangan
Hukum Laut yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Internasional dengan
Anglo-Norwegia Fisheries case perkara ini mengenai
masalah batas Perikanan Norwegia. Perkara ini timbul karena Inggris
menggugat tentang sahnya penetapan batas Perikanan Eklusip yang
ditetapkan oleh Norwegia dalam firman Raja Royal Decre
pada tahun 1935, menurut Hukum Internasional. Yang digugat oleh Inggris
adalah cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik
terluar pada pantai Norwegia. Norwegia menarik garis pangkal lurus di
deretan pulau di muka pantai karena Norwegia mengganggap itu merupakan
bagian dari pantai Norwegia. Dalam perkara ini pihak Inggris berpendapat
bahwa garis pangkal harus ditarik menurut garis pasang surut dari pada
tanah daratan (permanent dry land) yang
merupakan bagian dari wilayah Norwegia.
Dalam
pandangan Inggris (skaergaard) merupakan gugusan
pulau-pulau yang terletak di hadapan pantai Norwegia, tidak merupakan
bagian dari daratan tetap Norwegia. Inggris melakukan gugatan tentang
cara penarikan garis pangkal lurus sebagaimana ditetapkan dalam firman
Raja dengan ketentuan Hukum Internasional yang berlaku karena baik
Inggris maupun Norwegia telah membuat deklarasi menerima Yurisdiksi, Mahkamah Internasional di bawah optional clause
maka dengan landasab itulah Inggris mengadukan Norwegia ke Makamah
Internasional dan meminta Mahkamah Internasional untuk menegaskan bahwa
cara penetapan garis pangkal yang dilakukan Norwegia melanggar hukum dan
asas-asas hukum Internasioanal. Dalam tuntutan itu Inggris juga meminta
ganti rugi atas kerugian bagi nelayan-nelayan Inggris yang ditahan oleh
Norwegia. Nelayan tersebut ditahan setelah Norwegia menegaskan
daerah-daerah tertentu tidak boleh melakukan pelayaran oleh warga Negara
Asing, penegsan ini dikeluarkan sekitar tahun 1911. Dalam sengketa ini
Inggris tetap berpendirian bahwa satu-satunya cara penetapan garis
pangkal yang tepat dan merupakan kaidah yang berlaku umum surut, Artinya
garis luar laut terotirial harus mengikuti segala liku-liku garis
pangkal yang dalam hal ini sama benar atau identik dengan garis pasang
surut. Dalam menarik garis pangkal Norwegia tidak boleh melebihi 10 mil.
Dalam
hal ini Mahkamah Internasional mempelajari tiga macam cara penarikan
garis pangkal yang berpedoman kepada asas pasang surut, antara lain :
1. Cara Trace Parallele dimana garis batas luar mengikuti segala liku dari pada garis pasang surut.
2 . Cara Arcs of Circles
dimana lansung ditetapkan batas luar tanpa adanya garis pangkal
terlebih dulu. (cara ini dikesampingkan oleh Mahkamah Internasional
karna tidak relevan lagi).
3. Cara Straight Base Line
(garis pangkal lurus) dimana garis pangkal ditarik tidak tepat menurut
garis pasang surut dengan segala likunya melainkan ditarik garis-garis
lurus yang menghubungkan titik-titik tertentu yang berada pada garis
pasang surut.
Kemudian
sengketa ini diputuskan oleh Mahkmah Internasional yang dalam
keputusannya bahwa tidak sependapat dengan pihak Inggris bahwa penarikan
garis pangkal oleh Norwegia hanya dapat dibebankan sebagai suatu
pengecualian. Norwegia menarik garis lurus tidak lain dari pada suatu
penetrapan dari pada suatu kaidah Hukum Internasional yang berlaku umujm
pada suatu kaidah khusus. Mahkamah juga menolak pendapat Inggris dan
tidak dapat menerima dalil Inggris bahwa panjang garis pangkal yang
ditarik Norwegia tidak boleh melebihi 10 mil. Walaupun ukuran 10 mil
memang dianut dalam praktek beberapa Negara dalam perjanjian antara
mereka dan disebut pula dalam beberapa keputusan pewarisan arbitral awards
ukuran 10 mil tidak merupakan suatu kaidah Hukum Internasional yang
berlaku umum. Mahkamah Internasional berpendapat bahwa karenanya
Norwegia dalam menarik garis tidak melanggar putusan pada tahun 1936
tentang zona Perikanan.